Pada masa Perang Dunia Kedua, tepatnya bulan Mei 1952, seorang jenderal kenamaan, Douglas Mac Arthur, menulis sebuah puisi untuk putra tercintanya yang saat itu baru berusia 14 tahun. Puisi tersebut mencerminkan harapan seorang ayah kepada anaknya. Ia memberi sang anak puisi indah yang berjudul “Doa untuk Putraku”. Inilah isi puisi tersebut:
Doa untuk Putraku
Tuhanku...
Bentuklah putraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya. Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan
Tetap Jujur dan rendah hati dalam kemenangan
Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja
Seorang putra yang sadar bahwa mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan
Tuhanku...
Aku mohon, janganlah pimpin putraku di jalan yang mudah dan lunak. Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan
Biarkan putraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya
Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi, sanggup memimpin dirinya sendiri, sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain
Berikanlah hamba seorang putra yang mengerti makna tawa ceria tanpa melupakan makna tangis duka
Putra yang berhasrat untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau
Dan, setelah semua menjadi miliknya...
Berikan dia cukup rasa humor sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh namun tetap mampu menikmati hidupnya
Tuhanku...
Berilah ia kerendahan hati...
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki...
Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna...
Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud, hamba, ayahnya, dengan berani berkata “hidupku tidaklah sia-sia”